Kamis, 10 Februari 2011

Djakarta

Cerpen Pramoedya Ananta Toer

Almanak Seni 1957

Sekarang tiba gilirannya: dia juga mau pergi ke Jakarta.
Aku takkan salahkan kau, mengapa kau ingin jadi wargakota Jakarta pula. Besok atau lusa keinginan dan cita itu akan timbul juga. Engkau di pedalaman terlampau banyak memandang ke Jakarta. Engkau bangunkan Jakarta dalam anganmu dengan segala kemegahan yang tak terdapat di tempatmu sendiri. Kau gandrung padanya. Kau kumpulkan tekat segumpil demi segumpil.

Ah, kawan, biarlah aku ceritakan kau tentang Jakarta kita.
Tahun 1942 waktu untuk pertama kalinya aku injak tanah ibukota ini, stasiun Gambir dikepung oleh del¬man. Kini delman ini telah hilang dari pemandangan kota —hanya tujuhbelas tahun kemudian! Becak yang menggantikannya. Kuda-kuda diungsikan ke pinggiran kota. Dan kemudian: manusia-manusia menjadi kuda dan sopirnya sekali: begini tidak ada ongkos pem¬beli rumput! Inilah Jakarta. Demi uang manusia se¬dia jadi kuda. Tentu saja kotamu punya becak juga tetapi sudah jadi adat daerah meniru kebobrokan ibu¬kota.

Bukan salah manusia ini, kawan. Seperti engkau juga, orang-orang ini mengumpulkan tekat segumpil demi segumpil¬ perawan-perawan sawah, ladang dan pegunungan, buruh-buruh tani, petani-petani sendiri yang bidang tanahnya telah didih di dalam perasaannya, warga-warga dusun yang dibuat porak poranda oleh gerombolan, pelajar-pelajar yang hendak meneruskan pelajaran, juga engkau sendiri —dan dengan penuh kepercayaan akan keindahan nasib baik di ibukota.

Kemudian bila mereka sampai di Jakarta kita ini, perawan-perawan pedalaman yang datang kemari sekedar cari makan, dia dapat makan, lupa cari makan, dia kepingin kesenangan, dan tiap malam berderet di¬ depan gedung tempat kerjanya masing-masing. Pria tidak semudah itu mendapat pekerjaan, dan akhirnya menjadi kuda. Beberapa bulan kemudian paha para pria ini menjadi begitu penuh sesak dengan otot yang ter¬lampau banyak dipaksa kerja. Tiap minggu mereka menelan telur ayam mentah. Dan jalan raya memberinya kemerdekaan penuh. Bila datang bahaya ia lepas beca berjalan sendirian, dan ia melompat ke kaki lima. Juga tanggung jawab delman hilang di tangan kuda-kuda ini. Beberapa tahun kemudian ia ‘ngejengkang’ di balenya karena jantungnya menjadi besar, desakan darahnya meninggi: ia invalid —puluhan! ratusan ribu! kembali ke kampung sebagai sampah. Bila ada kekayaan, adalah kekayaan membual tentang kepele¬siran. Tetapi untuk selama-lamanya ia telah mati, su¬dah lama mati. Jumlah kurban ini banyak daripada kurban revolusi bakalnya.

Jadi engkaupun ingin jadi warga Jakarta!
Jadi engkaupun ingin jadi sebagian kegalauan ini.

Dari rumah masing-masing orang bertekad mencari uang di Jakarta. Juga orang-orang daerah yang kaya mengandung maksud: ke Jakarta —hamburkan uang¬nya. Dan juga bajingan-bajingan daerah: ke Ja¬karta —menangguk duit. Demi duit ini pula Jakarta bangun. Sebenarnya sejak masuknya kompeni ke Ja¬karta, Jakarta hingga kini belum juga merupakan kota, hanya kelompokan besar dusun. Hingga sekarang. Tidak ada tumbuh kebudayaan kota yang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan diimport dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras dan agama, berbagai macam agama.

Aku lupa, bahwa kau datang hendak kemari untuk belajar. Tetapi barangkali patut pula kau jadikan ke¬nangan, pusat belajar daerah kita adalah Jakarta. Tetapi sungguh aku sesalkan, bahwa Jakarta kita bu¬kanlah pusat belajar yang mampu menyebabkan para mahasiswa ini menjadi perspektif kesarjanaan Indonesia di kemudian hari. Sisa-sisa intelektualisme karena gebukan balatentara Dai Nippon kini telah bangkit kembali dengan hebatnya. Titel akademi yang diperoleh tiap tahun beku di kantor-kantor, dan daerah¬mu tetap gersang menginginkan bimbingan. Dan bimbingan itu masih tergantung-gantung jauh di ang¬kasa biru. Semua orang asing, dengan warna politiknya masing-masing, yang memberi kauremah-remah dari¬pada kekayaan kita terbaik yang diisapnya.
Aku tahu, engkau orang daerah, orang pedalaman mendewakan pemimpin-pemimpinmu, tetapi aku lebih dekat pada kenyataan ini. Aku tahu engkau berteriak¬-teriak tentang perekonomian nasional, tetapi basis ke¬hidupan yang didasarkan atas perdagangan eksport, bukan saja typis negara agraria, juga negara kolonial. Sepanjang sejarah negara-negara petani menjadi negeri jajahan, dan tetap menjadi negeri jajahan.
Dan bukankah petani-petani daerahmu masih tetap hamba-hamba di jaman Majapahit, Sriwijaya atau Mataram? Siang kepunyaan raja, malam kepunyaan durjana! Dan raja di jaman merdeka kita ini ada¬lah naik-turunnya harga hasil pertaniannya sendiri. Se¬dang durjananta tetap juga durjana Majapahit, Sriwijaya dan Mataram yang dahulu: perampok, pen¬curi, gerombolan, pembunuh, pembegal.

Jadi beginilah, kawan. Jakarta merupakan impian orang daerah. Semua ingin ke Jakarta. Tapi Jakarta sendiri hanya kelompokan besar dusun, bahkan bahasa perhubungan yang masak tidak punya. Anak-anak men¬jadi terlampau cepat masak, karena bayi-bayi, kanak¬-kanak dan orangtuanya digiring ke dalam ruangan¬-ruangan yang teramat sempit sehingga tiap waktu me¬reka bergaul begitu rapat. Masalah orangtua tak ada yang tabu lagi bagi kanak-kanak. Kewibawaan orangtua men¬jadi hilang, dan segi-segi yang baik daripada perhubungan antara orangtua dan anak dahulu, kini menjadi tum¬pul. Agama telah menjadi gaya kehidupan, bukan perbentengan rohani yang terakhir. Aku ceritai kau, kemarin anakku yang paling amat besar enam umurnya, bercerita: Orang-orang ini dibuat Tuhan. Tapi apakah ranjang ini dibuat oleh-Nya juga? Ia pandangi aku. Waktu kutanyakan kepadanya bagaimana warna Tuhan: hitam ataukah merah? Ia menjawab Putih! Ia pilih warna yang tidak mengandung interpretasi, tidak di¬warnai oleh pretensi. Sebaliknya kehidupan Jakarta ini—dan barangkali patut benar ini kau ketahui: penuh-sesak dengan interpretasi dan pretensi ini. Di¬ segala lapangan! Lebih menjengkelkan daripada itu: tiap-tiap orang mau mendesakkan kepunyaannya masing-¬masing kepada orang lain, kepada lingkungannya. Sungguh-sungguh tiada tertanggungkan. Barangkali kau pernah pelajari sejarah kemerdekaan berpikir. Bila demikian halnya kau akan dikutuki celaka.

Tetapi jangan kaukira, bahwa kegalauan ini ber¬arti mutlak. Barangkali adanya kegalauan ini hanyalah suatu salah harap daripadaku sebagai perseorangan. Aku seorang pengarang, dan pengarang di masa kita ini, terutama di ibukota kita, adalah semacam kerbau yang salah mendarat di tanah tandus. Setidak-tidaknya kega¬lauan ini memberi rahmat juga bagi golongan-golongan terten¬tu, terutama bagi para pedagang nasional, yakni yang berjualbelikan kenasionalan tanah-airnya dan dirinya. Mungkin engkau tidak setuju. Tetapi barangkali lebih baik demikian. Sungguh lebih menyenangkan bagimu bila masih punya pegangan pada kepercayaan akan kebaikan segala yang dimiliki oleh tanah-airmu dalam segala segi dan variasinya. Kami golongan pengarang, biasanya tiada lain daripada tenaga penentang, golongan opposisi yang tidak resmi. Resmi: pengarang. Tidak resmi: opposisi periuk terbaik! Dengan sendi¬dirinya saja begitu, karena kami bicara dengan selu¬ruh ada kami, kami hanya punya satu moral. Itu pula sebabnya, bila kami tewas, tewas secara keseluruhan. Bukannya tewas di moral yang pertama, tetapi menjadi tambun di moral yang keempat! menjadi melengkung di moral yang ketiga!

Aku kira terlampau jauh lantaranku ini. Padamu aku mau bicara tentang Jakarta kita.
Sekali waktu di suatu peristiwa, Omar pernah bicara dengan sombongnya: Bakar semua khazanah, karena segalanya telah termaktub di dalam Qur’an! Permun¬culan yang grandius tapi tak punya kontur-kontur kenyataan ini adalah gambaran kejiwaan Jakarta: rencana-rencana besar, galangan-galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan mo¬ral terbesar! segala terbesar. Tapi tak ada sekrup, tak ada mur, tak ada ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini.

Sekali waktu di suatu peristiwa, Paskal mencatat di¬ dalam bukunya: Manusia hanya sebatang rumput, teta¬pi rumput yang berakal budi. Dan rumput ini adalah golongan yang mempunjai kesadaran tanpa kekuasaan, terinjak dan termakan. Yang lahir, kering dan mati dengan diam-diam. Namun menjadi permulaan dari pada kehidupan, seperti yang disaksikan oleh Schweit¬zer, serta risalah Kan Ying Pien.

Berbagai macam angkatan campur-baur menjadi satu, seperti sambal yang menerbitkan satu rasa, tetapi dengan teropong masih jelas nampak perpisahan an¬tara bagian satu dengan jang lain. Namun pen-tipe-an semacam yang tegakkan oleh Remarque tidak memper¬lihatkan diri.

Barangkali engkau keberatan dengan kata-kataku itu. Tetapi memang demikian. Cobalah ikuti tulisan-tulisan angkatan demi angkatan. Angkatan yang muda menca¬ci yang tua, yang muda dicaci oleh yang lebih muda. Tetapi, kata Ramadhan KH yang pernah aku dengar, angkatan muda ini bila diberi kesempatan, dia kehilangan segala proporsi dan lemih menjadi badut lagi. Artinya badut di lingkungan badut. Tokoh-tokoh pemi¬kiran mengetengahkan Wulan Purnomosidhi dan Ada¬ tidaknya Tuhan, di dalam kekacauan sosiologis, ekono¬mis dan politis, kultural dan intertual! Apakah kita mesti ikut pukul kaleng untuk membuat segala ini men¬jadi bertambah ramai? Sedang anak-anak murid ini telah demikian giat dengan membanggakan pengeta¬huannya tentang para cabul dan ‘rakjat kecil’ plus sa¬duran Toto Sudarto Bahtiar Cabul Terhormat karang¬an Sartre? Plus Margaretta Gouthier saduran Hamka dari Alexander Dumas Jr. Hamka? ya Hamka.

Akhirnya, seperti kata A.S. Dharta, orang-orang da¬tang dan berkumpul ke Jakarta, menjadi warga Ja¬karta, untuk mempercepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banyak yang datang tambah cepat lagi.

Selagi aku belum jadi penduduk Jakarta, dambaanku mungkin seperti kau punya. Impian yang indah, bayangan pada pembangunan hari depan. Diri masih pe¬nuh diperlengkapi kekuatan, kemampuan dan keperca¬yaan diri. Barangkali bagimu segala itu lebih keras lagi. Karena di daerah bertiup angin: orang takkan jadi warganegara yang 100% sebelum melihat Jakarta de¬ngan mata kepala sendiri.

Barangkali engkau akan bertanya kepadaku, mengapa tak juga menyingkirkan diri dari Jakarta! Ah, kau. Golongan kami adalah semacam kerbau yang mendarat di tanah tandus. Golongan kami reaksioner di lapangan penghidupan. Sekalipun tandusnya penghidupan golong¬an kami, justru Jakartalah yang bisa memberi, seka¬lipun hanya remah-remah para pedagang nasional, atau petani pasar minggu. Tambah lama nasi yang sepiring harus dibagi dengan empat-lima anak-anaknya. Dan anak-anak ini akan mengalami masa kehilangan masa kanak-kanak, masa kanak-kanaknya sendiri. Kanak-kanak Jakarta yang tak punya lapangan bergerak, tak punya lapangan bermain, tak punya daerah perkem¬bangan kejiwaan, menjurus dari gang dan got, membunuh tiap marga-satwa yang tertangkap oleh matanya.

Katak dan ketam dan belut dan burung mengalami lik¬uidasi, di Jakarta! Tetapi nyamuk merajalela, dan cicak dan sampah. Juga mereka ini hidup di alam ketaksenangan. Taman-taman hanya di daerah Menteng dan perkampungan baru. Engkau tahu, jadi orang apa ka¬nak-kanak semacam ini jadinya di kemudian hari.
Engkau tahu, ada pernah dibisikkan kepadaku: da¬erah yang punya taman adalah lahir dan berkembang karena telah menghisap darah daerah yang tak punya taman. Tentu saja bisikan ini konsekuensi daripada prinsip perjuangan kelas. Barangkali engkau tak setu¬ju, karena ini membawa-bawa politik atau pergeseran kemasyarakatan yang berwarna politik atau politik ekonomi. Mungkin juga hanya suatu kedengkian yang tak sehat. Tapi apakah yang dapat kauharapkan dari suatu masyarakat dimana sebahagian besar warganya hidup dalam suasana tak senang, tak ada pegangan, tak ada kepercayaan pada hari depan! Sedang para pedagang nasional juga tak punya hari depan, karena kemanisan yang di perolehnya hari kini diisapnya habis hari kini pula, untuk dirinya sendiri tentu, atas nama kenaikan harga tentu, sehingga mereka menjadi para turis di daerah kehidupannya sendiri.

Segala yang buruk berkembang-biak dengan mantiknya di Jakarta ini. Segi-segi kehidupan amatlah runcing¬nya dan melukai orang yang tersinggung olehnya. Tetapi wargakota yang sebelum proklamasi bersikap apatis ¬— apatisnya seorang hamba — kini kulihat apatisnya orang merdeka dengan jiwa hambanya. Bukan penghinaan, sekalipun suatu peringatan itu kadang-kadang terasa sebagai penghinaan.

Di dalam kehidupan yang tidak menyenangkan apakah yang tak terasa sebagai penghi¬naan! Dan tiap titik yang menyenangkan dianggap pujian, atau setidak-tidaknya secara subjektif: penga¬kuan dari pihak luaran akan kesamaan martabat dengan orang atau bangsa yang memang telah merdeka dan tahu mempergunakan kemerdekaannya. Barangkali engkau menghendaki ketegasan ucapan ini. Baiklah aku tegaskan kepadamu: memang wargakota belum lagi 25% bertindak sebagai bangsa merdeka. Anarki kecil¬-kecilan, sebagaimana mereka dahulu dilahirkan dalam lingkungan yang serba kecil-kecil pula: buang sam¬pah digot! banjir tiap hujan akibatnya; pendudukan tanah orang lain yang disadari benar bukan tanahnya sendiri menurut segala hukum yang ada, sekalipun sah menurut hukum yang dikarang-karangnya sendiri: ketimpangan hak tanah adalah ketimpangan penghidupan, kehidupan dan kesejahteraan sosial. Mengapa? Kare¬na besok atau lusa tiap orang dapat didorong keluar dari rumah dan pekarangannya sendiri-sendiri. Kejo¬rokan dan kelalaian yang dengan langsung menuju ke pelanggaran ketertiban bersama. Dan jalan-jalan raya serta segala macam jalanan umum menjadi me¬dan permainan Jibril mencari mangsa. Juga ini akibat hati orang tidak senang. Bawah sadarnya bilang: dia tak dilindungi hukum — dia, baik yang melanggar maupun yang dilanggar.

Nah demikianlah Jakarta kita, sekian tahun setelah merdeka.
Barangkali engkau mengagumi kaum cerdik-pandai yang sering diagungkan namanya disurat-suratkabar. Hanya sedikit di antara mereka itu yang benar-benar bekerja produktif-kreatif. Yang lain-lain terpaksa mem¬populerkan diri agar tak tumbang di medan penghidup¬an! Apakah yang telah ditemukan oleh universitas Indonesia selama ini yang punya prestasi interna¬sional! Di lapangan kepolitikan, apakah pancasila telah melahirkan suatu kenyataan di mana engkau sadar di hati kecilmu bahwa kau sudah harus merasa berterimakasih. Aku pernah menghitung, dan dalam sehari pada suatu hari yang tak terpilih, diucapkan limabelas kali kata pancasila itu baik melalui pers, radio, atau mulut orang. Sejalan dengan tradisi penjajahan yang selalu dideritakan oleh rakyat kita, maka nampak pula garis-garis yang tegas dalam masa penjajahan priayi¬-pedagang ini: orang membangun dari atas. Tanpa pondamen. Ah, kawan, kita mengulangi sejarah ke¬gagalan revolusi Perancis.

Barangkali kau menyesalkan pandanganku yang pesimistis.
Akupun mengerti keberatanmu. Asal saja kau tidak lupa: sekian tahun merdeka ini belum lagi bicara apa-apa bagi mereka yang tewas dalam babak pertama revolusi kita. Kalau Anatole France bicara tentang iblis-iblis yang haus akan darah di masa pemerintahan pergulingan itu, aku bisa juga bicara tentang iblis-¬iblis yang haus akan kurban, akan kaum invalid peng¬hidupan dan kehidupan. Dan bila kurban-kurban dan kaum invalid penghidupan dan kehidupan ini merasa tak pernah dirugikan, itulah tanda yang tepat, bahwa iblis itu telah lakukan apa yang dinamai zakelijkheid dengan pintarnya. Dan bila iblis-iblis ini tetap apa yang biasa dinamai bajingan.
Ini bukanlah yang kita kehendaki dengan zakelijkheid!
Ini bukanlah yang kita kehendaki dengan kehidupan kesarjanaan! kepriayian dan perdagangan!

Sarjana adalah kompas kita, ke mana kita harus pergi mencari pegangan dalam lalulintas kebendaan di kekinian dan dimasa-masa mendatang. Sarjanamu, sarjanaku, wartawanmu, wartawanku, politisimu, politisiku, melihat adanya kesumbangan, dan: titik, stop. Juga seperti turis di dalam gelanggang kehidup¬annya sendiri.

Barangkali, engkaupun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa engkau tidak melupakan syarat ini: ke¬kuasaan. Kekuasaan ini akan ditelan lahap-lahap oleh tiap orang, tetapi tidak tiap orang tahu caranya men¬dapatkan dan menelannya. Semacam kucingmu sen¬diri. Sekalipun sejak lahir kauberi nasi tok, sekali waktu bila ditemukannya daging akan dilahapnya juga. Jadi kau sekarang tahu segi-segi gelap dari ibukota kita ini. Segi-segi yang terang aku tak tahu sama sekali, karena memang hal itu belum lagi diwahyukan kepada¬ku, baik melalui inderaku yang lima-limanya ataupun yang keenam. Tetapi aku nasihatkan kepadamu, dalam masa kita ini, janganlah tiap hal kauanggap mengan¬dung kebenaran 100%, dengan menaksir duapuluh persen pun kau kadang-kadang dihembalang kekece¬waan. Juga demikian halnya dengan uraianku ini.

Aku tahu, engkau seorang patriot dalam maksud dan jiwamu, karena engkau orang daerah yang jauh dari kegalauan kota besar, kumpulan besar dusun ini. Eng¬kau akan berjasa bila bisa membendung tiap orang yang hendak melahirkan diri dari daerahnya hendak memadatkan Jakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat¬lah usaha agar tempatmu mempunyai sekolah mene¬ngah atas sebanyak mungkin. Dan buatlah tiap sekolah menengah atas itu menjadi bunga bangsamu di ke¬mudian hari: jadi sumber kegiatan sosial, sumber ke¬sadaran politik secara ilmu, sumber kegiatan pencip¬taan dan latihan kerja. Pernah aku beri ceramah di kota kelahiranku dua tahun yang lalu: mobilisasilkan tiap murid ini untuk berbakti pada masyarakatnya, untuk belajar berbakti, untuk membelokkannya daripada intelektualisme yang hanya mengetahui tanpa kecakapan mempergunakan pengetahuannya. Apa ilmu pasti yang mereka terima itu bagi kehidupannya di kemudian hari bila tidak berguna ?

Jangan kausangka, aku hendak mendiktekan kema¬uanku sendiri. Aku kira aku telah cukup tua untuk menyatakan semua ini kepadamu—engkau yang ku¬harapkan jadi pahlawan pembangun daerahmu. Juga engkau ada merendahkan petani, karena engkau lahir dari golongan priyaji—penjajah petani sepanjang sejarah penjajahan: Jepang, Belanda, Inggris, Mataram, Majapahit, Sriwijaya, Mataram dan kera¬jaan-kerajaan perompak kecil yang tidak mempunyai tempat khusus di dalam sejarah.

Kawan, sebenarnya revolusi kita harus melahirkan satu bangsa baru, bangsa yang homogen, bangsa yang bisa menyalurkan kekuasaan itu sehingga menjadi tenaga pencipta raksasa, dan bukan menyerbit-nyerbit¬nya dan melahapnya sehingga habis sampai pada kita, pada rakyat yang kecil ini. Dari dulu aku telah bilang kekuasaan dan kewibawaan kandas di tangan para petugas. Petugas yang benar-benar pada tempatnya hanya sedikit, dan suaranya biasa habis punah ditelan agitasi politik — sekalipun tiap orang tahu ini bukan masa agitasi lagi, kalau menyadari gentingnya situasi tanah ¬airnya dalam lalulintas sejarah dunia !
Kita mesti kerja.
Tetapi apa yang mesti kita kerjakan, bila mereka yang kerja tak mendapat penghargaan dan hasil seba¬gaimana mesti ia terima ?

Aku kira takkan habis-habisnya ngomong tentang Jakarta kita, pusat pemerintahan nasional kita ini. Setidak-tidaknya aku amat berharap pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke Jakarta untuk menambah jumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri. Apakah karena itu engkau jadi federalis, aku tak hiraukan lagi. Dulu sungguh mengagetkan hatiku mendengar bisikan orang pada telingaku: mana yang lebih penting, kemer¬dekaan ataukah persatuan? Dan kuanggap bisikan ini sebagai benih-benih federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme secara sadar dianggap juga se¬bagai kejahatan atau tidak! Setidak-tidaknya aku tetap berharap kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanya kau melancong ke ibukota untuk men¬contoh kefatalan di sini.

Kawan, sekianlah.

Djakarta, 17-XII-1955.
-
Dikaitkatakan dengan Pramoedya Ananta Toer

Minggu, 06 Februari 2011

Langit Makin Mendung

Cerpen: Kipandjikusmin

LAMA-LAMA mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.

“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun tanpa henti.”

Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw..

“Daulat, ya Tuhan.”

“Apalagi yang kurang di surgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai susu, danau madu, buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!”

“Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah.”

“Lihat rumput-rumput jamrud di sana. Bunga-bunga mutiara bermekaran.”

“Kau memang mahakaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat sekali.”

Tengok permadani sutra yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala yang indah-indah!”

Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap belas kasihan. la ingat, waktu sowan ke surga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.

“Apa sebenamya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali.”

“Hamba ingin mengadakan riset,” jawabnya lirih.

“Tentang apa?”

“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.”

“Ahk, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?”

“Betul, kau memang maha tahu.” “Kemarau kelewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh.” Kacamata model kuno dari emas diletakkan di atas meja dari emas pula.

“Bagaimana, ya Tuhan?”

“Umatmu banyak kena tusukan siar matahari. Sebagian besar berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak.”

“Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?”

“Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila.”

“Dan yang mati?”

“Ada stempel Kalimat Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu.”

“Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!” dengan kening sedikit mengerut.

“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing.”

“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”

“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”

“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka. (Muhammad saw. nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”

Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian –penuh kebapaan.

“Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jedah. Pencipta Nasakom sudah punya bom atom, kau tahu!”

“Singkatnya, hamba diizinkan turba ke bumi?” (Ia tak takut bom atom).

“Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Sulaiman yang bijak di sekretariat. Tahu sendiri, dirasai Botes polisi-polisi dan hansip-hansip paling sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan.”

“Tidak bisa mereka disogok?”

“Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibril serta, supaya tak sesat!”

“Daulat, ya Tuhan.” (Bersujud penuh sukacita).

***

Sesaat sebelum berangkat, surga sibuk sekali. Timbang terima jabatan Ketua Kelompok Grup Muslimin di surga, telah ditandatangani naskahnya. Abubakar tercantum sebagao pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.

“Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?” Jibril bertanya takzim.

“Ke tempat jasadku diistirahatkan; Medinah, kau ingat? Ingin kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Di sini kita hanya kenal dua macam angka, satu dan tak berhingga.”

Seluruh penghuni surga mengantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut bidadari-bidadari. Entah dengan berapa juta lengan Muhammad saw. harus berjabat tangan.

Nabi Adam as. sebagai pinisepuh tampil di depan mikropon. Dikatakan bahwa pengorbanan Muhammad saw. merupakan lembaran baru dalam sejarah manusia. Besar harapan akan segera terjalin saling pengertian yang mendalam antara penghuni surga dan bumi.

“Akhir kata saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad saw. harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, saudara-saudara para suci! Sebagai kaum arrive surga, kita tak boleh melupakan perjuangan saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis di neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif, agar mereka scmua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad. Hidup persatuan Rakyat Surga dan Bumi.”

“Ganyang!!!” Berjuta suara menyahut serempak.

Muhammad segera naik ke punggung buroq-kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mikraj.

Secepat kilat buroq terbang ke arah bumi, dan Jibril yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang.

Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.

“Benda apa di sana?” Nabi keheranan.

“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”

“Orang? Menjemput kedatanganku kiranya?” (Gembira).

“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”

“Orang-orang malang; semoga Tuhan mengampuni mereka. (Berdoa). Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo, buroq!”

Buroq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibril memberi isyarat sputnik berhenti sejenak.

Namun sputnik Rusia memang tak ada remnya. Tubrukan tak terhindarkan lagi. Buroq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala botak-botak di lembaga aeronetika di Siberia bersorak gembira.

“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet yang tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi …,” terdengar siaran radio Moskow.

Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.

“Sayang, sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Berbisik sedih.

Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.

“Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”

“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B.H.”

“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodomah dan Gomorah?”

“Hampir sama.”

“Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?”

“Bukan, paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang negara tetangga, Malaysia.”

“Adakah umatku di Malaysia?”

“Hampir semua, kecuali Cinanya tentu.”

“Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!”

“Sama sekali tidak, 9o persen dari rakyatnya orang Islam juga.”

“90 persen,” wajah nabi berseri, “90 juta umatku! Muslimin dan muslimat yang tercinta. Tapi tak kulihat mesjid yang cukup besar, di mana mereka bersembahyang Jumat?”

“Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abubakar di surga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!”

“Aneh. Gilakah mereka?”

“Tidak, hanya berubah ingatan. Kini mereka akan menghancurkan negara tetangga yang se-agama!”

“Aneh!”

“Memang aneh.”

“Ayo Jibril, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku terlalu rindu pada Medinah!”

“Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?”

“Tidak, tidak di tempat ini!” jawabnya tegas, “rencana risetku di Kairo.”

“Sesungguhnya pdukalah nabi terakhir, ya Muhammad?”

“Seperti telah tersurat di kitab Allah,” sahut Nabi dengan rendah hati.

“Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi.”

“Apa peduliku dengan nabi palsu!”

“Umat paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu!”

“Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsense!” Kegusaran mulai mewarnai wajah Muhammad.

“Ya, Islam terancam. Tidakkah paduka prihatin dan sedih?” terdengar suara Iblis, disambut tertawa riuh rendah.

Nabi tengadah ke atas.

“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!”

Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas.

Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak:

“Amien, amien, amien.”

Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.

“Naiklah, mari kita berangkat ya Rasulullah!”

Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya.

Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.

***

Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influensa, pusing-pusing dan muntah-muntah.

Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip.

Kata orang, sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen Naspro mati kutu. Hanya politik-politik Cina dan tukang-tukang catut orang dalam leluasa nyomoti jatah lewat jalan belakang.

Koran sore Warta Bahari menulis: Di Bangkok 1000 orang mati kena flu, tapi terhadap flu Jakarta Menteri kesehatan bungkem.

Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkem dipanggil menghadap Presiden alias PBR.

“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin mati orang apa tidak?”

“Tidak, Pak.”

“Jadi tidak berbahaya?”

“Tidak Pak. Komunis yang berbahaya, Pak!”

“Akh, kamu. Komunisto-phobi, ya!”

Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai polisi-polisinya. Flu tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang bulu. Mulai dari pengemis-pelacur-nyonya menteri-sampai presiden diterjang semena-mena.

Pelayan-pelayan istana geger, menko-menko menarik muka sedih karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan bunting muda.

Sekejap mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta hubungan rahasia ke Peking.

“Mohon ssegera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, Pemimpin Besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati.”

Kawan Mao di singgasananya tcrsenyum-senyum, dengan wajah penuh welas-asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratulmaut.

“Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara.”

Terhampir obat kuat akar jinsom umur seribu tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao. (Tidak lupa, pada tabib-tabib dititipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit).

Rupanya berkat khasiat obat kuat, si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap sjukur pada Tuhan yang telah mengaruniai seorang sababat sebaik kawan Mao.

Pesta diadakan. Tabib-tabib Cina dapat tempat duduk istimewa. Untuk sejenak tuan rumah lupa agama, hidangan daging babi dan kodok ijo disikat tandas-tandas. Kyai-kyai yang hadir tersenyum-senyum kecut.

“Saudara-saudara. Pers nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (Hadirin tertawa. Menertawakan kebodohan nekolim). Wah, saudara-saudara. Mereka itu selak kemudu-kemudu melihat musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia ini akan gampang mereka iles-iles, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti negaranya Tengku.

“Padahal (menunjuk dada) lihat badan saya, saudara-saudara, Soekarno tetap segar-bugar. Soekarno belum mau mati. (Tepuk tangan gegup gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan). Insya Allah, saya belum mau menutup mata sebelum proyek nekolim ‘Malaysia’ hancur lebur jadi debu. (Tepuk tangan lagi).”

Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang.

Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.

Dokter pribadinya berbisik.

“Tak apa. Baik buat ginjalnya, biar kencing batu PYM tidak kumat-kumat.”

“Menyanyi! Menyanyi dong Pak!” Gadis-gadis merengek.

“Baik, baik. Tapi kalian mengiringi, ya!” Bergaya burung unta.

Siapa bilang Bapak dari Blitar

Bapak ini dari Prambanan

Siapa bilang rakyat-

Malaysia yang kelaparan …!

“Mari kita bergembira….” Nada-nada sumbang bau champagne.

Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik dengan seorang menteri.

“Gembira sekali nampaknya dia.”

“Itu tandanya hampir mati.”

“Mati?”

“Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba saatnya.”

“Tapi kami belum siap.”

“Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution.”

“Tunggu saja tanggal mainnya!”

“Nah, sampai ketemu lagi!” (Tabib Cina tersenyum puas.)

Mereka berpisah.

Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam ‘Kembang Kacang’ dibawakan nenek-nenek kisut 68 tahun.

“Kawan lama Presiden!” bisik orang-orang.

Kemudian tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas; beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir.

Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.

Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah.

Anjing-anjing istana mendengkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!

***

Desas-desus Soekarno hampir mati lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina.

Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibril yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas bebas.

“Allahuakbar, nabi palsu hampir mati.” Jibril sambil mengepakkan sayap.

“Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku,” mendengus kesal.

“Apa benar yang paduka risaukan?”

“Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia? Pasti kita akan dapat berbuat banyak untuk umatku!”

“Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!”

“Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman.”

“Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi.”

“Buat apa?”

“Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita.”

“Tapi tetap di luar manusia?”

“Ya, untuk mengikuti gerak hati dna pikiran manusia justru sulit bila satu dengan mereka.”

“Aku tahu!”

“Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita cepat!”

“Akh, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu Jibril. Mari kita keliling lagi. Betapapun durhaka, kota ini mulai kucintai.”

Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu menyesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.

Di atas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum.

Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas atap seng, sementara Jibril membuat lingkaran manis di atas gerbong-gerbong kereta Daerah planet.

Pelacur-pelacur dan sundal-sundal asyik berdandan. Bedak-bedak penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan.

Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot.

Di kamar lain, bandot tua asyik… di atas perut perempuan muda 15 tahun. Si perempuan … dihimpit sibuk cari … dan … lagu melayu.

Hansip repot-repot …

“Apa yang Paduka renungi.”

“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!” Menggeleng-gelengkan kepala.

“Mungkin pengaruh adanya Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi,” kata si Nabi palsu.

“Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai di sini? Berzina, laangkah kotor bangsa ini. Batu, mana batu!!”

“Batu-batu mahal di sini. Satu kubik 200 rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula….”

“Cari di sungai-sungai dan di gunung-gunung!”

“Batu-batu seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan masjid pun masih kekurangan, Paduka lihat?”

“Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!” Nabi merentak.

“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul.”

“Astaga! Sudahkah Iblis menguasai dirimu Jibril?”

“Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :

Pelacur-pelacur kota Jakarta

Naikkan tarifmu dua kali

dan mereka akan kelabakan

mogoklah satu bulan

dan mereka akan puyeng

lalu mereka akan berzina

dengan istri saudaranya

“Penyair gila! Cabul!”

“Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka.” Muhammad membisu dengan wajah bermuram durja.

Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana.

Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.

“Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!”

“Orang tadi mencuri tidak?” Pandangan Nabi penuh selidik.

“Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret.”

“Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu.”

“Mereka tak punya pedang, ya Rasul.”

“Toh, bisa diimpor!”

“Mereka perlu menghemat devisa. Impor pedang dibatasi untuk perhiasan kadet-kadet Angkatan Laut.”

“Lalu dengan apa bangsa ini berperang?”

“Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia.”

“Negara kapir itu?”

“Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan dolar.”

“Sama jahat keduanya pasti!”

“Sama baik dalam mengaco dunia dengan kebencian.”

“Dunia sudah berubah gila!” Mengeluh.

“Ya, dunia sudah tua!”

“Padahal Kiamat masih lama.”

“Masih banyak waktu ya, Nabi!”

“Banyak waktu untuk apa?”

“Untuk mengisi kesepian kita di sorga.”

“Betul, betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga.”

Kedua elang terbang di gelap malam.

“Jibril! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku tiba-tiba merasa tak enak.”

“Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad.”

Sebentar kemudian di atas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka bertengger. Mata tajam mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.

“Siapa dia? Mengapa begitu gembira?”

“Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap pentolan mata-mata.”

“Sebetulnya siapa menurut kamu?”

“Dia hanya Togog. Begundal raja-raja angkara murka.”

“Ssst! Surat apa di tangannya itu?”

“Dokumen.”

“Dokumen?”

“Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer.”

“Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!”

“Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika.”

“Ooh.”

Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul makan tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu.

Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.

“Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil telanjangi komplotan satria-satria pengaman Baginda Raja.”

Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.

“Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!”

Sekali lagi ia senyum-senyum sendiri. Baginda Tua hampir mati, raja muda togog segera naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin mati kutunya.

Pintu markas BPI ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!

“Apa kabar Yang Mulia Togog?”

“Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih intel AD.”

“Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan laboratoris…?”

“Baik, baik Yang Mulia” Pura-pura ketakutan.

“Nah, kan begitu. BPI-Togog harus disiplin dan taat tanpa reserve pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi revolusi yang belum selesai!”

“Betul, Pak, eh, Yang Mulia.”

“Jadi kapan selesai?”

“Seminggu lagi, pasti beres.”

“Kenapa begitu lama?”

“Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku komik detektif.”

“Bagus, kau rajin meng-up-grade otak. Soalnya begini, saya mesti lempar kopi-kopi itu di depan hidung para panglima waktu meeting dengan PBR. Gimana?”

“Besok juga bisa, asal uang lembur…,” sembari membuat gerak menghitung uang dengan jari-jarinya.

Togog meluruskan seragam-dewannya. Dan gumpalan uang puluhan ribu keluar dari kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya punggung pembantunya.

“Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan antek-anteknya dalam negeri.”

“Siapa mereka?”

“Siapa lagi? Natuurlijk de— ‘our local army friends’. Jelas toh?”

Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas BPI secara gelap sejak bertahun-tahun.

Syahdan desas-desus makin laris seperti nasi murah. Rakyat jembel dan kakerlak-kakerlak baju hijau rakus berebutan, melahap tanpa mengunyah lagi.

“Soekarno hampir mati lumpuh, jenderal kapir mau coup, bukti-bukti lengkap di tangan partai!”

***

Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno tidak jadi lumpuh, pincang sedikit cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang mati. Tanda kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda dan segar.

Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi, makin getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah berapa jumlahnya.

Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu berdua di Bogor. Briefing dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak lampias.

“Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog.” PBR marah-marah.

“Akh, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya, jimat tulen.”

“Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?”

“Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang, siang malam mereka putar otak dan bakar kemenyan.”

“Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?”

“Lebih dari itu, jailangkung bahkan memberi gambaran begitu pasti!”

“Apa katanya?”

“Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid…!”

“Akh, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan embel-embel –. Dia tidak berbahaya lagi.

“Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army friends’.”

“Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA dicampuradukkan!”

“Begini, Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita– kawan Mao buka front baru dengan konfrontasi Malaysia.”

“Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari tekanan Amerika.”

“Kenapa begitu?”

“Formil kita berhadapan dengan Inggris-Malaysia. Sesungguhnya Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian tetap mengancam RRT lainnya mengancam kita!”

“Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRC?” Ada suara cemas.

“Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka khawatir Amerika menjamah negeri ini. “

Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang rongsokan Cina yang tak laku di pasaran.

Kiriman bom atom –upah mengganyang Malaysia– tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. Tiba-tiba PBR naik pitam.

“Togog, panggil Duta Cina kemari. Sekarang!”

“Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu semua kalau kamu takut.”

Seperti maling kesiram air kencing togog berangkat di malam dingin kota bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di Cibinong buyar. Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual bakso. Dia cuma pakai piyama, mulutnya berbau angciu dan keringatnya berbau daging babi.

“Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rejeki nih!” Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya.

“Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti tuh?”

“Buat apa bom atom, sih?” Duta Cina mengingat kembali instruksi dari Peking, “tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Akh, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu.”

“Gimana ini, Togog?”

“Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut Cina WNA disini,” Togog mendongkol.

“Jelasnya?” tanya PBR dan Duta Cina serentak.

“Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?” (Cina itu mengangguk). Dan sampai sekarang pemerintahmu cuma nyokong dengan omong kosong!”

“Kami tidak memaksa, Bung! Kalau mau stop konfrontasi, silakan.”

“Tidak mungkin!” PBR meradang, betul or tidak, Gog?”

“Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan berbuat nekad.”

“Nekad bagaimana?” Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.

“Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua Cina-cina WNA.” Menggertak.

“Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!”

“Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim.”

“Baik, baik. Malam ini saya berangkat.”

PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkul-rangkulan.

“Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia.”

“Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin.”

“Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang malaysia?”

“Maaf PYM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan RRC.”

“Yani ragu-ragu?”

“Begitulah. Sebab PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar.”

“Lalu CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?”

“Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal cara khas CIA akan mereka pakai.”

“Bagaimana itu?”

“Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan. Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!”

Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisia buatan Togog.

Hari berikutnya berkicaulah Togog di depan rakyat jembel yang haus, penjual obat pinggir jalan, ia berpidato. Ia sering lupa mana propaganda dan mana hasil gubahan sendiri.

“Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PYM Presiden PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah… dengan barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara. Soekarno-Subandrio-Yani dan rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi. Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di London dan Washington.

“Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut demi Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban jiwa raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara Saudara-saudara.”

Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri berkaliber Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar ditukar dengan kegemasan dan geram meluap-luap atas kekurangajaran nekolim.

Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku sambil menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah dijahit perempuan-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh rasa kemenangan dan kepuasan luar biasa.

Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya yang melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.

Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik. Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti melek politik, di Jakarta tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.

“Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh, mana yang benar?”

“Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?”

“Pak Yani, tentu.”

“Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?”

“Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa.” Suara sember.

“Untung Menteri Luar Negeri kita jago. Rencana nekolim bisa dibocorin.”

“Dia nggak takut mati?”

“Tentu saja kapan dia sudah puas hidup. Berapa perawan dia ganyang!” suara sember menyela lagi.

Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak Menteri mengganyang perawan dan isteri orang.

***

Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan PBR ke Peking.

“Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang, jenderal-jenderal asyik ngobyek cari rejeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong.

Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir hanya tekstil, korek api, senter, sandal, pepsodent, tusuk gigi dan barang-barang lain bikinan cina.

Soekarno tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak mau makan lain kecuali beras.

“Padahal saudara-saudara. Saya tahu banyak sekali makanan bervitamin selain beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot, dan bahkan kadal justru obat eksim yang paling manjur. Saya sendiri dikira makan nasi tiap hari? Tidak! PBR-mu ini cuma kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan sudah sebulan ini tidak makan daging. Tanya saja Jenderal Saboer!”

“Itu Pak Leimena di sana (menunjuk seorang kurus kering). Dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum sarapan jagung.”

Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan jagung. Lengkap dengan sekalian potretnya.

Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di HI. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.

Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.

Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi. ***

(Kipandjikusmin: 17-41, 2004, MELIBAS: Jakarta).